Kamis, 12 Mei 2011

HARI PENDIDIKAN NASIONAL

HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Tanggal 2 Mei, sebagaimana yang kita tahu bahwa pada tanggal tersebut kita memperingati hari pendidikan nasional. Bapak pendidikan nasioanl yaitu Ki Hajar Dewantoro sangat berjasa dalam pendidikan di negara Indonesia ini. Beliaulah yang petama kali mendorong bangsa Indonesia untuk maju melalui pendidikan secara formal.
Kita tahu bahwa pada masa itu bangsa Indonesia masih diliputi kebodohan akibat politik penjajah Belanda yang menutup pintu pendidikan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati pendidikan secara formal, meskipun tidak sampai sempurna. Dengan berdirinya perguruan Taman Siswa, bangsa Indonesia baru bisa menikmati pendidikan secara formal dan bebas tanpa membedakan pangkat dan derajat seseorang, karena itulah ditetapkan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional.
Berbicara mengenai pendidikan, bagi saya pendidikan adalah perkara yang besar yang harus benar-benar diperhatikan, sebagai pelajar pun kita bisa ikut merayakan hari pendidikan nasional ini dengan tugas kita sebagai pelajar yaitu belajar dengan baik dan tekun, karena kita adalah generasi muda harapan bangsa yang nantinya akan melanjutkan perjuangan para pahlawan-pahlawan pendidikan dan ikut serta dalam pembangunan negara yang nantinya akan menciptakan negara yang kaya akan generasi-gnerasi muda yang pintar, kreatif dan berpotensial, sehingga kita dapat menunjukkan kepada negara lain bahwa Indonesia mempunyai generasi yang bertanggung jawab.

Perilaku Keorganisasian I

KONFLIK ANTAR KELOMPOK

A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat, konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli, sebagai berikut :
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing–masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri–sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Menurut (Muchlas, 1999), dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Menurut (Robbins, 1993), konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
7. Menurut (Pace & Faules, 1994:249), konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.
8. Menurut (Folger & Poole: 1984), konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi.
9. Menurut (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341), konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber–sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat.
10. Menurut (Devito, 1995:381), interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda–beda
 Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
a. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang–orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
c. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.


 Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View) :
a. Pandangan tradisional, pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi, dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
b. Pandangan modern, konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai–nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
 Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234) :
a. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
b. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
 Konflik Menurut Peneliti Lainnya
a. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234).
Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341).
Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
b. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi.
Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak–pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu–waktu terjadi kembali.

B. Teori-teori Konflik
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.

C. Faktor Penyebab Konflik
Faktor-faktor penyebab konflik adalah sebagai berikut :
 Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
 Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
 Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Disini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
 Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya, hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

D. Jenis-jenis Konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)).
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
• konflik antar atau tidak antar agama
• konflik antar politik.

E. Akibat Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
• Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
• Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
• Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga, dan lain-lain.
• Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
• Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi, pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut :
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

F. POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal.
Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan (Riggio, 1990). Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan atau penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut :
a) Dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan.
b) Dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian.
c) Penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya ditempuh cara :
a) Dengan paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya.
b) Dengan penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut.
c) Dengan bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga perselisihan akan semakin tajam
d) Dengan koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’.
e) Dengan tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang mejadi haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi korban konflik.
Strategi yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi :
a) koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen.
b) Dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak.
Sedangkan strategi yang dipandang paling efektif, antara lain :
a) Tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks. Misalnya denga cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih mantap.
b) Tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu.
Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan (arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal :
a) Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain.
b) Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian.
c) Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.
d) Lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami.
Pengendalian konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.
Pola penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan menggunakan strategi seperti berikut :
a) Gunakan persaingan dalam penyelesaian konflik, bila tindakan cepat dan tegas itu vital, mengenai isu penting, dimana tindakan tidak populer perlu dilaksanakan.
b) Gunakan kolaborasi untuk menemukan pemecahan masalah integratif bila kedua perangkat kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan.
c) Gunakan penghindaran bila ada isyu sepele, atau ada isu lebih penting yang mendesak, bila kita melihat tidak adanya peluang bagi terpuaskannya kepentingan anda.
d) Gunakan akomodasi bila diketahui kita keliru dan untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik didengar, untuk belajar, dan untuk menunjukkan kewajaran.
e) Gunakan kompromis bila tujuan penting, tetapi tidak layak mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih tegas disertai kemungkinan gangguan.
Macam-macam pola pengelolaan konflik menurut penelitian Vliert dan Euwema (dalam Farida, 1996) penelitian-penelitian mengenai cara-cara penyelesaian konflik menggunakan klasifikasi yang berbeda. Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai klasifikasi yang dianggap paling valid. Individu berhubungan dengan yang lain dalam tiga cara, yaitu moving toward others (mendapatkan dukungan), moving againts other (menyerang dan mendominasi), dan moving away from other (menarik diri dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam Hall, 1985).
Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan tiga model pengelolaan konflik, sebagai berikut :
a) Deffering to status power
Individu dengan status yang lebih tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan memaksakan solusi konflik yang ditawarkan. Status sosial memegang peranan dalam menentukan aktivitas-aktivitasyang akan dilakukan.
b) Applying regulations
Model ini ditekankan oleh asumsi bahwa interaksi sosial diatur oleh hukum universal. Peraturan diterapkan secara merata pada seluruh anggota. Peraturan dibakukan untuk menggambarkan hukuman dan penghargaan yang diberikan berdasarkan perilaku yang dilakukan, bukan berdasarkan orang yang terlibat.
c) Integrating interest
Model ini menekankan pada perhatian pihak yang terlibat, untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat bagi mereka daripada tidak mendapatkan kesepakatan satupun. Disini masing-masing pihak saling berbagi minat, prioritas, untuk menemukan penyelesaian yang dapat mempertemukan minat mereka masing-masing.
Pola penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang kalah pada masing-masing pihak, maka ada empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu:
1) Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik)
Bentuk pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut.
2) Bentuk menang-kalah (persaingan)
Bentuk kedua ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah.
3) Bentuk kalah-menang (mengakomodasi)
Agak berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga yaitu individu kalah-pihak lain menang ini berarti individu berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan.
4) Bentuk menang-menang (kolaborasi)
Bentuk keempat ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut (Prijosaksono dan Sembel, 2002).
Berbeda dengan pendapat diatas, Hendricks (2001) mengemukaan lima gaya pengelolaan konflik yang diorientasikan dalam organisasi maupun perusahaan. Lima gaya yang dimaksud adalah :
1. Integrating (menyatukan, menggabungkan)
Individu yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi. Disini ada keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Cara ini mendorong berpikir kreatif serta mengembangkan alternatif pemecahan masalah.
2. Obliging (saling membantu)
Disebut juga dengan kerelaan membantu. Cara ini menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri.
3. Dominating (menguasai)
Tekanan gaya ini adalah pada diri sendiri. Kewajiban bisa saja diabaikan demi kepentingan pribadi. Gaya ini meremehkan kepentingan orang lain. Biasanya berorientasi pada kekuasaan dan penyelesaiannya cenderung dengan menggunakan kekuasaan.
4. Avoiding (menghindar)
Individu yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan, termasuk di dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu.

5. Compromising (kompromi)
Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang.
Berbeda dengan yang dikemukakan Johnson & Johnson (1991) bahwa strategi pengelolaan konflik ada karena dipelajari, biasanya sejak masa kanak-kanak sehingga berfungsi secara otomatis dalam level bawah sadar (preconscious). Tapi karena dipelajari, maka seseorangpun dapat mengubah strateginya dengan mempelajari cara baru dan lebih efektif dalam menangani konflik. Lebih lanjut Johnson & Johnson (1991) mengajukan beberapa gaya atau strategi dasar pengelolaan konflik, yaitu :
a. Withdrawing (Menarik Diri).
Individu yang menggunakan strategi ini percaya bahwa lebih mudah menarik diri (secara fisik dan psikologis) dari konflik daripada menghadapinya. Mereka cenderung menarik diri untuk menghindari konflik. Baik tujuan pribadi maupun hubungan dengan orang lain dikorbankan. Mereka menjauh dari isu yang dapat menimbulkan konflik serta dari orangorang yang terlibat konflik dengannya.
b. Forcing (Memaksa).
Individu berusaha memaksa lawannya menerima solusi konflik yang ditawarkannya. Tujuan pribadinya dianggap sangat penting. Mereka menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak peduli akan kebutuhan dan minat orang lain, serta apakah orang lain itu menerima solusi mereka atau tidak. Mereka menganggap konflik dapat diselesaikan dengan satu pihak yang menang dan pihak yang lain kalah. Mereka mencapai kemenangan dengan jalan menyerang, menghancurkan, dan mengintimidasi orang lain.
c. Smoothing (Melunak).
Individu yang menggunakan strategi ini berpendapat bahwa mempertahankan hubungan dengan orang lain jauh lebih penting dibandingkan dengan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ingin diterima dan dicintai. Mereka merasa bahwa konflik harus dihindari demi keharmonisan dan bahwa orang tidak akan dapat membicarakan konflik tanpa mengakibatkan rusaknya hubungan. Mereka takut jika konflik berlanjut, maka orang lain akan kecewa dan ini menyebabkan rusaknya hubungan. Mereka mengorbankan tujuan pribadinya demi mempertahankan kelangsungan hubungan.
d. Compromising (Kompromi).
Strategi ini digunakan individu yang menaruh perhatian baik terhadap pribadinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Mereka berusaha berkompromi, mengorbankan tujuannya sendiri dan mempengaruhi pihak lain untuk mengorbankan sebagian tujuannya juga. Mereka mencari solusi konflik agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan, solusi pertengahan antara dua posisi yang ekstrim.
e. Confronting (Konfrontasi).
Individu dengan tipe ini menaruh perhatian sangat tinggi terhadap tujuan pribadi maupun kelangsungan hubungan dengan orang lain. Mereka memandang konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan solusi terhadap konflik haruslah mencapai tujuan pribadinya sendiri maupun tujuan orang lain. Konflik dipandang dapat meningkatkan hubungan dengan menurunkan ketegangan antara dua pihak yang terlibat. Dengan solusi yang memuaskan kedua belah pihak, mereka mencoba mempertahankan kelangsungan hubungan dapat memuaskan baik mereka sendiri maupun orang lain.
Klasifikasi-klasifikasi yang diajukan beberapa ahli di atas, jika diperhatikan tidak benar-benar berbeda. Perbedaan yang ada hanya pada istilah yang dipakai namun memiliki pengertian yang hampir sama. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Penyelesaian Konflik Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut :
 Tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan kepentingan individu lain.
 Seberapa penting hubungan atau interaksi itu untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang efektif selama beberapa waktu.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut :
 Kepribadian individu yang terlibat konflik
Stenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak.
Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Sebaliknya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif.
Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik adalah kecenderungan agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati, dan kemampuan untuk menemukan pola penyelesaian konflik.
 Situasional
Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik, maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebelumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut.
Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang berselisih dapat melunakkan konflik karena pihak ketiga dapat berperan sebagai mediator.
 Interaksi
Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam mencari pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas. Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah interaksi dan saling mempengaruhinya determinan situasional dan disposisional.
 Isu konflik
Tipe isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipetipe isu yang cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah.
Tipe yang lain yang tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang. Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif, konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas.
Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan. Robbins (1996) mengungkapkan ada beberapa teknik yang bisa dijadikan acuan dalam pemecahan konflik dan perangsangan konflik.

G. Pengertian Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok adalah suatu proses sosial antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, dimana salah satu kelompok berusaha menyingkirkan kelompok lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Permasalahan antar kelompok telah menjadi perhatian dari berbagai pihak di Indonesia. Pemerintah dan juga lembaga-lembaga tertentu yang berada di Indonesia telah melakukan berbagai usaha dalam menjawab permasalah hubungan antar kelompok di negeri Nusantara ini, yang pada dasarnya adalah wilayah yang terbungkus oleh lingkungan multikultural. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat awam, langkah yang ditempuh oleh pihak-pihak yang harus bertanggung jawab tersebut, terkesan tidak memberikan hasil.
Hal ini dinilai dari fakta dan realita yang ada, terutama yang diketahui dari berbagai media massa, bahwa masalah konflik antar kelompok ini tidak pernah menemukan titik temu untuk menyatakan damai.
Salah satu masalah yang sangat sensitif, berhubungan dengan konflik antar kelompok ini, adalah permasalahan agama. Karena dianggap sebagai suatu kepercayaan yang sakral dan suci, dan berlandaskan kepada keyakinan dan moralitas agama tersebut, banyak konflik yang terjadi di masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus telah terjadi proses kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas oleh kelompok dominan, dengan mempermasalahkan penodaan suatu agama dan mengganggu ketertiban umum.
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik.
Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian.
Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal. Perlakuan Negara yang demikian kian diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bisa state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda".
Dari sinilah konflik-konflik kelompok politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat. Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam berbagai pola perilaku sosial dan politik.
Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bisa state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain.
Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu. Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat.
Di sini kita sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci. Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat, cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P Huntington sebagai konsekuensi reformasi.
Sementara revolusi, karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi terhadap anasir kekuatan lama. Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru.
Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan. Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy) selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti.
Falsafat Pancasila yang bertumpu pada agama lewat Ketuhanan Yang Maha Esa memberi konsep kedamaian abadi. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya ikut mengusik kerukunan itu, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang mendalam. Ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari. Semacam muncul stimulus perubah kepribadian berbagai pihak dalam waktu sekejap.

H. Jenis-jenis Konflik Antar Kelompok
Adapun jenis-jenis konflik antar kelompok dapat dibedakan menjadi :
1) Konflik antar kelompok sosial
2) Konflik antar kelompok agama
3) Konflik antar kelompok masyarakat
4) Konflik antar kelompok olahraga
5) Konflik antar kelompok sekolah atau mahasiswa
6) Konflik antar kelompok remaja, dan lain-lain

I. Sumber Konflik Antar Kelompok
Konflik di antara kelompok terjadi pada semua tingkat dalam organisasi sosial, adapun sumber konflik antar kelompok, yaitu :
a) Persaingan
Persaingan terjadi karena pada dasarnya kelompok akan lebih suka “mempunyai” dari pada “ tidak mempunyai”, dan karena itu mereka mengambil langkah perencanaan dalam mencapai dua hasil, mencapai tujuan yang diinginkan dan mencegah kelompok lain mendapatkan tujuannya.
b) Pengelompokkan Sosial
Dalam belajar mereka memahami lingkungan sosialnya dan menggolongkan objek yang hidup dan tidak hidup. Tajfel mengusulkan bahwa “hanya permasalahan pribadi untuk dua kelompok yang nyata hanya itu, pengelompokkan sosial cukup diskriminasi antar kelompok.” Dua dasar kategori sosial adalah anggota kelompok dan anggota kelompok lain (Hamilton, 1979). Walaupun pengelompokkan sosial ini menolong orang memahami lingkungan sosialnya, Tajfel menyebut kelompok kecil karena anggota pada kelompok yang sama tidak pernah bergaul dalam keadaan tatap muka, identitas di dalam kelompok dan diluar kelompok anggota tetap tidak tahu, dan bukan keuntungan ekonomi perseorangan yang bisa terjamin dengan mengizinkan banyak atau kurangan uang pada keterangan individu. Intinya, kelompok adalah ”kognitif murni”, mereka hanya ada pada pikiran mereka sendiri.
c) Penyerangan antara kelompok

Dari beberapa tindakan negatif atau buruk dalam kenyataannya merupakan ancaman bagi kelompok mencapai pertengkaran, tindakan tersebut berawal dari penghinaan suku etnik budaya, memasuki wilayah kekuasaan kelompk lain tanpa izin atau pencarian properti geng lain (Gannon, 1966;Yablonsky, 1959).


J. Konsekuensi Konflik Antar Kelompok

Konsekuensi antar kelompok ini disarankan agar tidak dikhususkan untuk kelompok saja, tapi beberapa konflik sejenis nisa menciptakan sejumlah perubahan yang dapat diperkirakan yang melibatkan kelompok. Secara umum, ada dua reaksi dasar yang terjadi. Yang pertama, perubahan dalam tim menciptakan peningkatan kekompakkan atau rasa solidaritas, penolakan terhadap tim lain, dan diferensiasi tim yang semakin hebat. Kedua, konflik antar tim tampaknya dapat menciptakan salah sangka atas motif dan kualitas anggota tim lain.
Prinsip konsekuensi konflik antar kelompok mencakup :
• Proses perubahan dalam kelompok
• Konflik dan kekompakkan (solidaritas)
• Konflik dan pemolakan kelompok lain
• Konflik diantara kelompok
• Perubahan-perubahan dan persepsi yang terjadi dalam kelompok
• Kesalahan persepsi dan pemikiran bayangan (terbalik)
• Gambaran musuh yang kejam
• Gambaran kelompok bermoral
• Gambaran kekuatan kelompok
• Bayangan terbalik
• Stereotif



K. Pengurangan Konflik Intergroup

Untuk mengurangi konflik yang yang terjadi antar kelompok dapat dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut :
1) Hubungan intergroup
Mempertimbangkan untuk membawa anggota dua kelompok bersama-sama dalam beberapa aktivitas kelompok menyenangkan dengan harapan akanmenghasilkan ikatan intergroup. Suksesnya hubungan sebagai alat untuk mengurangi
konflik intergroup akan tergantung pada apa yang terjadi sepanjang hubungannya sendiri.
2) Kerjasama antar kelompok
Membiarkan keleluasaan kepada kelompok-kelompok untuk saling berhubungan dengan dengan caranya masing-masing karena survei membuktikan bahwahasil yang lebih tinggi akan dicapai oleh kelompok-kelompk yang bekerjasama dan membentuk sebagai regu. Setiap kelompok yang sedang berselisih harus dapat bersama-sama mencari jalan keluar yang bersifat tidak saling merugikan, supaya bisa bersma-sama mencapai hasil yang memuaskan dan tentu saja yang memang diharapkan oleh kelompok-kelompok tersebut. Sherif berpendapat sebuah kelompok harus dapat menciptakan kepercayaan antara kelompok-kelompok tersebut, membangun kepercayaan ini adalah salah satu langkah dalam sistem pengurangan konflik diantara masyarakat.

L. Pemecahan Konflik Kelompok

Upaya untuk memecahkan konflik selalu timbul selama berlangsungnya kehidupan suatu kelompok, namun terdapat perbedaan-perbedaan di dalam sifat dan intensitas konflik pada berbagai tahap perkembangan kelompok. Pemecahan terhadap konflik-konflik yang besar tidak akan dapat terjadi sampai kelompok telah berkembang mencapai suatu titik dimana terdapat kesepakatan yang mendasar di dalam kelompok terjadi dengan pasti. Di dalam proses-proses pembuatan keputusan terletak metode-metode pengendalian konflik yang dapat digunakan terhadap semua atau setiap konflik (Wilson an Raylan, 1969).
Adapun cara-cara pemecahan konflik-konflik tersebut adalah sebagai berikut:
• Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik yang diungkapkan dengan : kami mengalah, kami ke luar, atau kami membentuk kelompok kami sendiri.
• Subjugation atau Domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya. Tentu saja cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang telibat.
• Majority Rule, artinya suatu suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi. Pada hakekatnya Majority ini merupakan salah satu bentuk Subjugation.
• Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama. Bisa dicontohkan disini adalah masa pemerintahan madinah yang dipimpin oleh Rosulullah SAW.
• Compromise (kompromi) artinya kedua atau semua subkelompok yang terlibat di dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan “jalan tengah (halfway)”.
• Integration (integrasi) artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangakan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa (Albert Bandura, 1969).
Pemecahan konflik suatu kelompok akan tergantung pada sejumlah individu yang saling berhubungan dan pada karakteristik-karakteristik kelompok. Di dalam hal-hal tersebut terdapat sifat dasar konflik, yaitu :
a. Atribut-atribut tertentu dari anggota-anggota kelompok, seperti kematangan emosi, nilai-nilai pengetahuan mengenai persoalan yang dipertentangkan ketrampilan-ketrampilan dalam hubungan antar pribadi.
b. Pengalaman yang diperoleh kelompok sebelumnya dalam upaya penanggulangan konflik.
c. Nilai-nilai dan norma-norma yang telah dikembangkan dalam kelompok tentang cara-cara kelompok untuk menghadapi perbedaan-perbedaan di dalam kelompok serta tentang cara-cara pemecahan masalah.

M. Konflik Antar Kelompok Agama
Di Indonesia struktur masyarakatnya merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, kelompok, dan agama, muncul praktek-praktek eksklusi sosial. Praktek eksklusi berdasar agama ini menyebabkan pengabaian, pengasingan dan pencabutan hak atas orang atau sekelompok orang disebabkan oleh pemahaman tentang agama.
Praktek eksklusi ini sering menimpa kelompok minoritas yang memiliki aliran kepercayaan dan kelompok sekte keagamaan yang berbeda dari apa yang telah ditentukan oleh negara. Pihak yang mempunyai daya untuk melakukan praktek eksklusi sosial terhadap kaum minoritas ini adalah kaum dominan (kelompok agama yang berkuasa) demi memperoleh kekuatan dan perhatian dari penguasa. Pluralitas agama di Indonesia ini di satu sisi menjadi kekayaan bangsa namun di sisi lain juga menjadi ancaman yang berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial di masyarakat, bahkan disintegrasi nasional.
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat.
Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945 pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia, namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yang secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal inilah yang dilihat sebagai masalah dalam tugas ini, yaitu tentang konflik antar kelompok agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis : teori konflik. Di sini timbul dua pertanyaan, yaitu :
a. mengapa konflik agama bisa terjadi, padahal ketentuan dan peraturan tentang kebebasan memeluk agama dan menjalankannya sudah diatur di dalam UUD dan UU?
b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tindakan kekerasan dan praktek ekslusi sosial dapat terjadi dalam hubungan antar agama di Indonesia?
N. KONFLIK ANTAR KELOMPOK OLAHRAGA
Ketika apa yang diharapkan oleh suporter persebaya agar kesebelasan kesayangannya menang tidak terwujud, akibatnya dia melakukan berbagai tindakan penyerangan kepada siapa saja, termasuk kepada aparat keamanan.
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003).
Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik, yaitu :
1. Sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya
2. Pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions)
3. Mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”.
4. Interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001).

O. KONFLIK ANTAR KELOMPOK PELAJAR
Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena itu tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956) menyatakan : konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti (Poloma, 1994).
Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Dahrendorf (1986), membuat 4 postulat yang menunjukkan keniscayaan itu, yaitu:
a. Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat di mana-mana.
b. Setiap masyarakat memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana.
c. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap desintegrasi dan perubahan.
d. Setiap masyarakat dicirikan oleh adanya penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya.
Coser (1956) mengutip hasil pengamatan Simmel, menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan.

Referensi :
a. http://www.google.com
b. http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
c. http://muchad.info/muchad/konflik-kelompok-pengertian-penyebab-dan-pemecahan.html
d. http://file.upi.edu/Direktori/
e. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/11/opini/arke45.htm
f. www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm
g. http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2005/rusmin.htm

Aspek Hukum Dalam Ekonomi II

WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
1. Dasar pertimbangan
Wajib daftar perusahaan secara sepintas tampaknya adalah hanya masalah teknis administratif. Namun demikian pendaftaran atau daftar perusahaan merupakan hal yang sangat penting, pada dasarnya ada 3 pihak yang memperoleh manfaat dari daftar perusahaan tersebut, yaitu:
a. Pemerintah
b. Dunia Usaha
c. Pihak lain yang berkepentingan
Selain itu daftar perusahaan penting sebagai alat pembuktian yang sempurna atau ontentik.
2. Daftar Perusahaan
Dalam ketentuan Umum Undang – Undang No.3 tahun 1982 disebutkan bahwa :
Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang Wajib Daftar Perusahaan atau UU-WDP dan atau peraturan-peratuaran pelaksanannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang di Kantor Pendaftaran Perusahaan.
A. Tujuan
Bertujan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas perusahaan yang tercantum di dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha.
B. Sifat
Bersifat terbuka untuk semua pihak, setiap pihak yang berkepentingan setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh menteri, berhak memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara mendapatkan salinan atau petikan resmi dari keterangan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu dikantor pendaftaran Perusahaan.
C. Kewajiban
Setiap Perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan. Pendaftaran Wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah.
D. Pengecualian
Namun ada yang dikecualikan dari Wajib Daftar itu adalah:
a) Setiap perusahaan negara yang berbentuk perusahaan jawatan (PERJAN) seperti diatur dalam UU No.9 tahun 1969 lembaran negara 1969 No.40 joIndonesische Bedrijvenwet ( Staatsblad tahun 1927 No.419) sebagaimana setelah diubah dan ditambah.
b) Setiap Perusahaan kecil perorangan yang dijalankan oleh pribadi pengusahanya sendiri atau hanya memperkerjakan anggota keluarga sendiri yang terdekat serta tidak memerlukan ijin usaha dan tidak merupakan suatu badan hukum atau suatu persekutuan.
3. Dasar Penyelenggaraan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.12/MPP.Kep/1/1998 tentang penyelenggaraan WDP ditetapkan pada tanggal 16 Januari 1998, yang merupakan pelaksanaan UU No.3 tahun 1982 tentang wajib Daftar perusahaan. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa perlu diadakan penyempurnaan guna kelancaran dan penigkatkan kualitas pelayanan pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi, kegunaan pendataran perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan peran daftar perusahaan , serta menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP.
4. Perusahaan – Perusahaan yang tidak wajib mendaftar
Dalam keputusan Memperindag ini lebih lanjut diatur mengenai perusahaan yang dikecualikan dari WDP yaitu:
a. Perusahaan Kecil Perorangan
b. Perusahaan yang diurus, dijalankan,atau dikelola oleh pribadi milik sendiri, atau hanya dengan memperkerjakan anggota keluarga sendiri.
c. Perusahaan yang tidak diwajibkan memiliki ijin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.
d. Perusahaan yang tidak merupakan suatu badan hukum atau persekutuan.
Namun demikian perusahaan yang bersangkutan dapat didaftarkan dalam Daftar Perusahaan apabila perusahaan yang bersangkutan menghendakinya. Selanjutnya diatur bahwa usaha atau kegiatan yang bergerak diluar bidang ekonomi atau sifat dan tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan dan atau laba, tidak dikenakan WDP ,yaitu:
a. Pendidikan formal( Jalur Sekolah) dalam segala jenis dan jenjang yang diselenggarakan oleh siapapun.
b. Pendidikan Non Formal(Jalur Luar Sekolah)
c. Jasa Notaris
d. Jasa Pengacara
e. Praktek Perorangan Dokter dan Praktek berkelompok dokter.
f. Rumah Sakit
g. Klinik pengobatan
Penentuan usaha atau kegiatan lainnya yang tidak dikenakan WDP yang tercakup diatas, akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan Menteri yang membidangi usaha atau kegiatan bersangkutan. Perusahaan yang wajib daftar dalam daftar perusahaan adalah setiap perusahaan (termasuk Perusahaan Asing) yang berkependudukan dan menjalankan usahanya diwilayah Negara Republik Indonesia menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku(dan telah memiliki ijin), termasuk didalamnya kantor cabang, kantor pembantu,anak perusahaan serta agen dan perwakilan dari perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian. Perusahaan-perusahaan tersebut berbentuk :
a. Badan hukum, termasuk didalamnya koperasi
b. Persekutuan
c. Perorangan
d. Perusahaan lainnya
Atau menurut keputusan Menperindag disebutkan meliputi bentuk usaha :
a. Perseroan terbatas (PT), Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), Firma(Fa), Perorangan.
b. Perusahaan lainnya yang melaksanakan kegiatan usaha dengan tujuan memperoleh laba.
5. Wewenang dan Tanggung Jawab
Menteri berwenang menetapkan tempat kedudukan, susunan kantor pendaftaran perusahaan (KPP), ketentuan dan tata cara penyelenggaran Wajib Daftar Perusahaan (WDP). Dengan tempat kedudukan dan susunan KPP adalah sbb:
a. Direktorat Pendaftaran Perusahaan pada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri bertindak selaku KPP yang berfungsi sebagai penyelenggara WDP tingkat Pusat.
b. Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan selaku KPP yang berfungsi sebagai penyelenggara WDP di daerah tingkat 1 sambil menunggu pembentukan KPP tingkat
c. Kantor departemen perindustrian dan perdagangan ditunjuk selaku KPP yang berfungsi sebagai penyelenggara dan pelaksana WDP di daerah tingkat 2 .
6. Tata Cara Penggunaan Pendaftaran Perusahaan
Pendaftaran Perusahaan dilakukan oleh Pemilik atau Pengurus/Penanggung Jawab atau Kuasa Perusahaan yang sah pada KPP Tingkat II ditempat kedudukan perusahaan. Tetapi kuasa tersebut tidak termasuk kuasa untuk menandatangani Formulir Pendaftaran Perusahaan.
Pendaftaran Perusahaan dilakukan dengan cara mengisi Formulir Pendaftaran Perusahaan yang diperoleh secara Cuma-Cuma dan diajukan langsung kepada Kepala KPP Tingkat II setempat dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut :
1. Perusahaan Berbentuk PT :
a) Asli dan fotokopi akta pendirian perusahaan serta data akta pendirian perseroan yang telah diketahui oleh Departemen Kehakiman
b) Asli dan fotokopi keputusan perubahan pendirian perseroan (apabila ada).
c) Asli dan fotokopi keputusan pengesahan sebagai badan hukum.
d) Fotokopi kartu tanda penduduk atau Ppaspor Direktur Utama atau penanggung jawab.
e) Fotokopi ijin usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.
2. Perusahaan Berbentuk Koperasi :
a) Asli dan copy Akta Pendirian Koperasi
b) Copy Kartu Tanda Penduduk Pengurus
c) Copy surat pengesahan sebagai badan hokum dari Pejabat yang berwenang
d) Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang.
3. Perusahaan Berbentuk CV :
a) Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan (apabila ada)
b) Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor penanggung jawab atau pengurus
c) Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang.
4. Perusahaan Berbentuk Fa :
a) Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan (apabila ada)
b) Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor penanggung jawab / pengurus
c) Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang.
5. Perusahaan Berbentuk Perorangan :
a) Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan (apabila ada)
b) Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor penanggung jawab / pemilik
c) Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang

6. Perusahaan Lain :
a) Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan (apabila ada)
b) Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor penanggung jawab perusahaan
c) Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang.
6. Kantor Cabang, Kantor Pembantu dan Perwakilan Perusahaan :
a) Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan (apabila ada) atau Surat Penunjukan atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu, sebagai Kantor Cabang, Kantor Pembantu dan Perwakilan
b) Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor penanggung jawab perusahaan
c) Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang atau Kantor Pusat Perusahaan yang bersangkutan.
7. Biaya
Perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya wajib membayar biaya administrasi WDP sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dilunasi sebelum TDP diterbitkan. TDP tersebut wajib dipasang oleh perusahaan, ditempat yang mudah dibaca dan dilihat oleh umum dan nomor TDP wajib dicantumkan pada papan nama dan dokumen-dokumen perusahaan yang dipergunakan dalam kegiatan usahanya. Tetapi ada kalanya Pendaftaran Perusahaan ditolak apabila pengisian formulir Pendaftaran Perusahaan belum benar dan atau dokumennya belum lengkap.
8. Perubahan dan Penggantian TDP
Setiap perusahaan yang melakukan perubahan atas hal-hal yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan, wajib melaporkan kepada Kepala KPP Tingkat II setempat. Perubahan tersebut dilakukan dengan cara mengisi Formulir Perubahan yang diperoleh secara cuma-Cuma. Kewajiban laporan perubahan tersebut dilakukuan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan.
Dari perubahan tersebut ada yang dapat mengakibatkan pergantian TDP seperti:
a. pengalihan pemilikan atau kepengurusan perudahaan.
b. Perubahan nama perusahan.
c. Perubahan bentuk dan atau status perusahaan.
d. Perubahan alamat perusahaan di luar wilayah kerja KPP Tingkat II.
e. Perubahan Kegiatan Usaha Pokok.
f. Perubahan Akta Pendirian atau Anggaran Dasar khusus untuk PT.

9. TDP Hilang dan Rusak
kewajiban untauk mengajukan permohonan dibedakan antara TDP yang hilang dan TDP yang hilang dan TDP yang rusak,yaitu untuk penggantiaan TDP yang hilang,perusahaan yang bersangkutan secara tertulis mengajukan kepada Kepala KPP Tingkat II dengan melampirkan Surat Keterangan Hilang dari kepolisian selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari terhitung mulai tanggal kehilangan. Sedangkan untuk penggantian TDP asli yang rusak, yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan kepada Kepala KKP Tingkat IIdengan melampirkan TDP yang rusak.
Kepala KKP Tingka II menerbitkan YDP pengganti atau duplikat, Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan penggantian TDP yang hilang atau rusak di terima secara lengkap dan benar. Masa berlaku TDP yang di terbitkan sebagai pengganti atau duplikat, adalah sampai dengan berakhirnya masa berlaku TDP yang hilang atau rusak tersebut.
10. Pembatalan
Daftar perusahaan dan TDP dinyatakan batal apabila perusahaan yang bersangkutan terbukti mendaftarka data perusahaan secara tidak benar dan atau tidak sesuai dengan ijin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu, dengan menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan. Perusahaan yang bersangkutan melakukan pendaftaran ulang sesuai dengan tta cara pelaksanaan pendaftaran Perusahaan sebagaimana telah di jelaskan di muka, dengan menyerahkan TDP asli yang telah di batalkan.
Namun perusahaan tersebut dapat mengajukan keberatan disertai alasan kepada Kepala KKP Tingkat I selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja terhitung mulai tanggal diterimanya Surat Keputusan Pembatalan dengan tembusan kepada Kepala KKP Tingkat pusat dan Kepala Tingkat II dan Kepala Tingkat I wajib menerbitkan Surat Keputusan penolakan, maka perusahaan yang bersangkutan wajib melakukan pendftaran ulang sesuai dengan ketetuan. Sedangkan apabila keberatan atas pembatalan tersebut di terima, maka Kepala KKP Tingkat II selambat-lambatnya 5 (lima) hari karja wajib mengesahkan kembali Daftar Perusahaan dan menerbitkan TDP yang telah di nyatakan batal.
Apabila tidak puas atas Keputusan Kepala KKP Tingkat I yang menolak atau menerima keberatan yang siajukan perusahaan, maka perusahaan itu dapat mengajukan keberatan kepala Badan Peradilan setempat.
11. Penghapusan atau Pembubaran
Perusahaan dihapus dari Daftar perusahaan apabila terjadi di bawah ini:
a. Perubahan bentuk perusahaan;atau
b. Pembubaran perusahaan;atau
c. Perusahaan menghentikan segala kegiatan usahanya;atau
d. Perusahaan berhenti akibat Akta Pendirian kadaluwarsa atau berakhir;atau
e. Perusahaan menghentikan kegiatan/bubar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuetan hukum yang tetap.

Referensi :
a. http://www.wikipedia.com
b. http://www.google.com